Sang Dokter Super, AVICENNA

Di Barat, Ibnu Sina lebih dikenal dengan nama Avicenna. Ia lahir pada tahun 980 di Afghanistan. Pelajaran pertama yang diterimanya adalah pelajaran tentang Al Qur’an dan sastra, yang diberikan secara privat. Selain itu, ia juga mempelajari ilmu agama sepeti tafsir, fikih, dan tasawuf. Disebabkan keceradasannya yang luar biasa, Ibnu Sina berhasil menguasai ilmu itu ketika usianya masih sangat belia, yaitu 10 tahun. Setelah itu, Ibnu Sina melanjutkan pendidikannya dengan belajar ilmu hukum, logika, matematika, politik, fisika, kedokteran, dan filsafat. Ibnu Sina dikenal sebagai seorang yang otodidak yang amat tekun dan cerdas. Konon, ia menguasai ilmu kedokteran dalam waktu satu setengah tahun tanpa bimbingan seorang guru.
Menginjak usia 17 tahun, Ibnu Sina berhasil menangani penyakit Khalifah Nuh bin Manshur. Oleh karena itu, ia memperoleh izin untuk belajar di perpustakaan pribadi sang khalifah. Di perpustakaan tersebut, ia berkesempatan mendalam ilmunya. Ia mempelajari semua buku yang ada di perpustakaan tersebut. Pada usia 18 tahun, Ibnu Sina telah menguasai semua cabang ilmu pengetahuan yang ada pada masanya.
Setelah kematian ayahnya, Ibnu Sina memutuskan untuk meninggalkan Bukhara menuju Jurjan. Dari Jurja, ia terus mengembara hingga sampai di Khwarazm, sebelum kemudian sampai ke Mamadzan. Selama dalam perjalanan panjang itu, pemikiran filsafat Ibnu Sina bertambah matang. Pada suatu waktu, ia berhasil menemukan pemikiran filsafatnya sendiri sebagai suatu sistem yang lengkap dan terperinci.
Pada mas itu, Ibnu Sina menghasilkan sebuah karya besar yang berjudul Qanun fi al-Thibb (Canon of Medicine). Buku ini dianggap sebagai “buku suci” dalam ilmu kedokteran dan dijadikan buku pegangan bagi para mahasiswa kedokteran Eropa. Buku yang disebut sebagai ensiklopedi kedokteran ini telah menguasai dunia ilmu pengobatan Eropa selama kurang lebih 500 tahun. Qanun fi al-Thibb bahkan sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa, seperti Ibrani, Latin, Spanyol, Perancis, Itali, dan sebagainya. Sejak zama dinasti Han di Cina, buku ini menjadi buku standar kedokteran Cina. Teori Anatomi dan fisiologi yang tertulis di dalamnya telah mendasari sebagian analogi manusia terhadap negara. Qanun fi al-Thibb atau Canon of Medicine juga pernah diterbitkan di Roma (1953) dan India (1323). Salah satu pernyataan dalam buku ini yang menjadi dasar bagi sejumlah teori kedokteran adalah bahwa darah mengalir secara terus menerus dalam suatu lingkaran dan tidak akan pernah berhenti.
Ibnu Sina juga menulis sebuah buku tantang penyakit sataf (neurasthenia). Buku tersebut membahas sejumlah metode pembedaha yang menegaskan perlunya luka dibersihkan (disinfection) agar steril. Proses ini disebut sterilisasi.
Selain dikenal sebagai seorang filosof dan dokter, Ibnu Sina adalah seorang menteri pula. Ia memegang jabatan tersebut pada masa pemeritahan Syamsuddaulah di Hamadzan. Namun, di sela sela kesibukannya, Ibnu Sina terus menghasilkan karya. Pada masa itu, ia menulis sebuah karya filsafat monumentalnya yang berjudul asy-Syifa. Di dalam buku ini, Ibnu Sina mengulas berbagai macam ilmu logika, fisika, matematika, dan metafisika ketuhanan, secara mendalam. Di kemudian hari, buku ini diterbitkan di Roma (1953) dan di Mesir (1331). Adapun bagian khusus metafisika dan fisika pernah dicetak dengan cetakan baru di Teheran. Sementara itu, pasal keenam dari bagian fisika, yang merupakan landasan pembentukan psikologi modern diterbitkan oleh Lembaga Keilmuan Cekoslovakia di Praha, sebelum kemudian diterjemahkan dalam bahasa Perancis. Pada tahun 1951, pemerintah Mesir dan Arab membentuk panitia penyunting asy-Syifa di Kairo.
Keaslian pemikiran Ibnu Sina mengundang kekaguman para ahli Barat dan Timur. Buku terakhir karya Ibnu Sina yang paling baik menurut para filosof dunia adalah al-Isyarat wat-Tanbihat. Pada tahun 1892, buku ini diterbitkan di Leiden. Terakhir, al-Isyarat wat-Tanbihat diterbitkan di Kairo pada tahun 1947.
Di tengah kesibukannya itu, Ibnu Sina tiba tiba sakit. Ia wafat pada tahun 1037 (487 H) di Hamadzan. Pada tahun 1955, Ibnu Sina dinobatkan sebagai Father of Doctors (Bapak Kedokteran). Sebuah monumen pun dibangun untuknya. Peristiwa tersebut terjadi dalam rangka memperingati 1000 tahun kelahiran Ibnu Sina (Fair Millenium) di Teheran.

Posted by
Arifin Avicena

More

Tata Krama Pangkal Kesuksesan

Seorang saudagar membuka lowongan. Ia ingin mencari pemuda sebagai sekretarisnya. Banyak pemuda yang datang melamar. Pasa waktu yang ditentukan, mereka datang untuk menemui si saudagar.

Saudagar memnaggil mereka ke kantornya, satu per satu. Mereka ditanya banyak hal, untuk mengetahui kecakapan dan tata kramanya. Akhirnya, si saudagar memilih seorang pemuda, setelah tanya jawab singkat. Keputusan singkat itu membuat heran teman si saudagar yang hadir pada saat itu. Ia bertanya kepada si saudagar, “Apa alasanmu memilih pemuda ini, padahal kamu tidak banyak bertanya kepadanya?”

Saudagar itu menjawab, “Ketika masuk, ia membersihkan sepatunya ke keset dan mengetuk pintu dengan pelan. Dari situ aku tahu bahwa ia suka kebersihan dan keteraturan. Kemudian, ia memberi salam kepadaku dan menjawab pertanyaan-pertanyaanku dengan bersemangat dan bijak. Itu memberi pengertian kepadaku bahwa ia berbudi baik. Ia tenang menunggu giliran, tidak menyerobot temannya yang menghadapku. Kesimpulanku, ia orang yang rendah hati. Jika sifat-sifat ini ada pada diri seseorang, maka ia lebih utama ketimbang lainnya.”

Dari buku karya Abd Fattah Shobri dan Ali Umar

Posted by
Arifin Avicena

More

Pelayan dan Ikan

Seorang majikan mengutus pelayannya ke pasar untuk membeli ikan. Setibanya di kedai, pelayan itu mendapati kerumunan pembeli. Ia menunggu keramaian berkurang. Namun orang-orang terus berebut membeli, tanpa aturan.

Karena lama menunggu, pelayan itu memaksa masuk kedai. Ia mengambil satu ikan sambil berharap si penjual akan menimbang dan memberitahukan harganya. Namun si penjual tidak menghiraukannya, karena pakaiannya yang rombeng. Berkali-kali ia meminta, tapi si penjual tetap tidak mengacuhkannya. Si pelayan menjadi jengkel dengan sikap penjual kepadanya. Ia berpikir membuat tipuan kecil untuk memperdaya si penjual.

Si pelayan mengambil ikan dan mendekatkannya ke hidungnya, seolah membauinya. Si penjual marah melihat ulah tersebut. “Mengapa kamu membaui ikanku? Aku tidak menjual ikan yang bacin. Lepaskan ikan itu jika memang kamu tidak tertarik, dan pergilah!” bentaknya.

Saya tidak sedang membaui ikan ini. Saya hanya ingin mendengar jawaban pertanyaan yang saya ajukan kepadanya,” jawab si pelayan. “Apa yang kamu tanyakan padanya dan apa jawabnya?” tanya si penjual. “Saya bertanya apakah ia melihat saudara saya yang tenggelam di laut tiga hari yang lalu. Katanya, ia tidak tahu kabar laut yang terbaru. Sebab ia sudah keluar dari sana sejak dua minggu yang lalu,” jawab si pelayan.

Dari buku karya Abd Fattah Shobri dan Ali Umar

Posted by
Arifin Avicena

More

Al Ghazali

Beliau bernama Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i. Beliau merupakan seorang filosof dan teosof. Orang – orang Barat menyebutnya Algazel. Ia bernama Abu Hamid karena salah seorang anak beliau bernama Hamid. Sedangkan gelar al Ghazali ath – Thusi dikarenakan pekerjaan ayahnya yang seorang pemintal bulu kambing dan juga tempat kelahiran beliau, yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan, Persia (Iran). Dan gelar asy – Syafi’i menunjukkan bahwa beliau bermadzab Syafi’i.Al Ghazali dilahirkan tahun 460 H dan bertepatan 1058 M.
Imam Ghazali mempunyai daya ingat yang kuat dan bijak berhujjah, oleh karena itu beliau bergelar Hujjatul Islam.
Ayah al Ghazali menitipkan beliau dan saudaranya pada salah seorang temannya yang merupakan orang baik. Ayah al Ghazali berpesan pada temannya, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”
Setelah beliau belajar pada teman ayah beliau, al Ghazali lalu melanjutkan pendidikannya Selepas itu, beliau melanjutkan pelajarannya dengan Ahmad ar-Razkani dalam bidang ilmu fiqih, Abu Nasr al-Ismail di Jarajan, dan Imam Harmaim di Naisabur.
Karena terus – menerus belajar, ilmunya semakin bertambah, dan ia diangkat menjadi seorang mahaguru di Madrasah Nizhamiah di Baghdad tahun 484 H. Beliau juga diangkat menjadi Naib Kanselor di sana. Kecintaannya pada ilmu pengetahuan membuatnya rela melepas kemewahan hidup dan menjadi seorang musafir untuk menuntut ilmu.
Beliau menunjuk saudaranya yang bernama Ahmad untuk menggantikannya pada tahun 488 H.
Sebelum mengembara, beliau mempelajari karya ahli sufi ternama, yaitu al-Junaid Sabili dan Bayazid Busthami. Lalu beliau mengembara ke Mekah, Mesir, Jerusalem, Madinah dan tempat lain untuk memperdalam ilmu dengan belajar pada ulama yang ada di sana. Beliau mengembara selama 10 tahun.
Beliau berniat untuk menjadi seorang yang zuhud, beliau melakukan perjalanan yang menempuh gurun pasir untuk melatihnya menjadi seorang yang zuhud. Beliau hidup dengan sederhana.
Pada saat mengembara, dia mengarang kitab "Ihya”. Keadaan hidup dan kehidupannya pada saat itu adalah amat sederhana, dengan berpakaian kain kasar, menyedikitkan makan dan minum, mengunjungi masjid-masjid dan desa, melatih diri berbanyak ibadah dan menempuh jalan yang membawanya kepada kerelaan Tuhan Yang Maha Esa.
Kemudian dia kembali ke Bagdad, mengadakan majlis pengajaran dan menerangkan isi dan maksud dari kitabnya -Ihya'-. Tak lama sesudah itu berangkat pula ke Nisapur dan mengajar sebentar pada Perguruan Nizamiyah Nisapur. Akhirnya, kembali ia ke kampung asalnya Thusia. Maka didirikannya di samping rumahnya sebuah madrasah untuk ulama-ulama fiqih dan sebuah pondok untuk kaum shufi (ahli tasawuf). Dibagikannya waktunya antara membaca Al-Qur-an, mengadakan pertemuan dengan kaum shufi, memberi pelajaran kepada penuntut-penuntut ilmu yang ingin menyauk dari lautan ilmunya, mendirikan shalat dan lain-lain ibadah. Cara hidup yang demikian diteruskannya sampai akhir hayatnya.
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya Imam Ghazali dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad : Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari).
Beliau wafat di kota Thusi hari Senin 14 Jumadil akhir 505 H.
Jenazahnya dikebumikan di makam Ath-Thabiran, berdekatan dengan makam Al-Firdausi, seorang ahli sya'ir yang termasyhur. Sebelum meninggal Al-Ghazali pernah mengucapkan kata-kata yang diucapkan pula kemudian oleh Francis Bacon seorang filosuf Inggeris, yaitu :"Kuletakkan arwahku dihadapan Allah dan tanamkanlah jasadku dilipat bumi yang sunyi senyap. Namaku akan bangkit kembali menjadi sebutan dan buah bibir ummat manusia di masa depan".
Selama hidupnya, Al Ghazali telah membuat berbagai karya yang banyak jumlahnya dan dapat kita gunakan karya beliau untuk belajar lebih dalam ilmu – ilmu agama Islam. Adapun buku karya beliau adalah :
> Dalam masalah ushluddin dan aqidah
1.Arba’in Fi Ushuliddin. Merupakan juz kedua dari kitab beliau Jawahirul Qur’an.
2. Qawa’idul Aqa’id, yang beliau satukan dengan Ihya’ Ulumuddin pada jilid pertama.
3. Al Iqtishad Fil I’tiqad.
4. Tahafut Al Falasifah. Berisi bantahan beliau terhadap pendapat dan pemikiran para filosof dengan menggunakan kaidah mazhab Asy’ariyah.
5. Faishal At Tafriqah Bainal Islam Wa Zanadiqah.
> Dalam ilmu ushul, fikih, filsafat, manthiq dan tasawuf
1. Al Mustashfa Min Ilmil Ushul. Merupakan kitab yang sangat terkenal dalam ushul fiqih. Yang sangat populer dari buku ini ialah pengantar manthiq dan pembahasan ilmu kalamnya. Dalam kitab ini Imam Ghazali membenarkan perbuatan ahli kalam yang mencampur adukkan pembahasan ushul fikih dengan pembahasan ilmu kalam dalam pernyataannya, “Para ahli ushul dari kalangan ahli kalam banyak sekali memasukkan pembahasan kalam ke dalamnya (ushul fiqih) lantaran kalam telah menguasainya. Sehingga kecintaannya tersebut telah membuatnya mencampur adukkannya.” Tetapi kemudian beliau berkata, “Setelah kita mengetahui sikap keterlaluan mereka mencampuradukkan permasalahan ini, maka kita memandang perlu menghilangkan dari hal tersebut dalam kumpulan ini. Karena melepaskan dari sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan sangatlah sukar……” (Dua perkataan beliau ini dinukil dari penulis Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa hal. 17 dan 18).
Lebih jauh pernyataan beliau dalam Mukaddimah manthiqnya, “Mukadimah ini bukan termasuk dari ilmu ushul. Dan juga bukan mukadimah khusus untuknya. Tetapi merupakan mukadimah semua ilmu. Maka siapa pun yang tidak memiliki hal ini, tidak dapat dipercaya pengetahuannya.” (Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa hal. 19).
Kemudian hal ini dibantah oleh Ibnu Shalah. beliau berkata, “Ini tertolak, karena setiap orang yang akalnya sehat, maka berarti dia itu manthiqi. Lihatlah berapa banyak para imam yang sama sekali tidak mengenal ilmu manthiq!” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329). Demikianlah, karena para sahabat juga tidak mengenal ilmu manthiq. Padahal pengetahuan serta pemahamannya jauh lebih baik dari para ahli manthiq.
2. Mahakun Nadzar
3. Mi’rayul Ilmi
4. Ma’ariful Aqliyah
5. Misykatul Anwar
6. Al Maqshad Al Asna Fi Syarhi Asma Allah Al Husna.
7. Mizanul Amal
8. Al Madhmun Bihi Ala Ghairihi Ahlihi
9. Al Ajwibah Al Ghazaliyah Fil Masail Ukhrawiyah
10. Ma’arijul Qudsi fi Madariji Ma’rifati An Nafsi
11. Qanun At Ta’wil
12. Fadhaih Al Bathiniyah dan Al Qisthas Al Mustaqim
13. Iljamul Awam An Ilmil Kalam.
14. Raudhatuth Thalibin Wa Umdatus Salikin
15. Ar Risalah Alladuniyah
16. Ihya’ Umuludin, kitab yang cukup terkenal dan menjadi salah satu rujukan sebagian kaum muslimin di Indonesia. Kitab ini mendapat banyak komentar dari ulama terdahulu, salah satunya :
Abu Bakar Al Thurthusi berkata, “Abu Hamid telah memenuhi kitab Ihya’ dengan kedustaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya tidak tahu ada kitab di muka bumi ini yang lebih banyak kedustaan darinya, kemudian beliau campur dengan pemikiran-pemikiran filsafat dan kandungan isi Rasail Ikhwanush Shafa. Mereka adalah kaum yang memandang kenabian merupakan sesuatu yang dapat diusahakan.”
17. Al Munqidz Minad Dhalalah, berisi tentang biografinya.
18. Al Wasith.
19. Al Basith.
20. Al Wajiz.
21. Al Khulashah
Diantara karangannya yang banyak itu, ada dua buah yang kurang dikenal di negeri kita, akan tetapi sangat terkenal di dunia Barat. Malah menyebabkan pecah perang pena antara ahli-ahli falsafah. Yaitu kitab "Maqashidul-falasifah" (Maksudnya ahli-ahli falsafah) dan kitab "Tahafutul-falasifah" (Kesesatan ahli-ahli falsafah) yang sudah disebutkan dalam karya masalah ushuliddin dan aqidah.
Kitab yang pertama berisi tentang ilmu falsafah, mantik, metafisika, dan fisika.
Kitab yang kedua memberi kritik yang tajam atas sistem falsafah yang telah diterangkannya satu persatu dalam kitab pertama tadi. Malah oleh Al-Ghazali sendiri menerangkan dalam kitab yang kedua itu, bahwa maksudnya menulis kitab yang pertama tadi ialah mengumpulkan lebih dahulu bahan-bahan untuk para pembaca, yang nantinya akan dikritiknya satu persatu dalam kitab yang kedua.
Lalu di Andalusia lahirlah Ibnu Rusyd yang mengarang kitab "Tahafutu-tahafutil falasifah" (Kesesatan buku Tahafutul-falasifah Al-Ghazali). Di buku ini Ibnu Rusyd menjelaskan kesalah pahaman Al Ghazali dalam mengartikan falsafah dan pokok pelajaran falsafah. Dengan begitu munculah dua buku dalam dunia Islam, yang satu menghancurkan falsafah dan yang satunya mempetahankan falsafah.
Sebagai filosuf, Al-Ghazali mengikuti aliran falsafah yang boleh dinamakan "madzhab hissiyat" yakni yang kira-kira sama artinya dengan "mazhab perasaan". Sebagaimana filosuf Inggeris David Hume (1711 - 1776) yang mengemukakan bahwa perasaan adalah sebagai alat yang terpenting dalam falsafah, di waktu dia menentang aliran rasionalisme, yakni satu aliran falsafah yang timbul di abad ke XVIII, yang semata-mata berdasar kepada pemeriksaan panca indera dan akal manusia.
Selama hidup ataupun setelah meninggal, Al Ghazali mendapat teman yang sepaham maupun yang menentang pendiriannya.

Posted by
Arifin Avicena

More

Karya Penemuan Al Razi

Prestasi al-Razi dalam ilmu kedokteran, menarik para mahasiswa dari berbagai pelosok dunia Islam. Mereka datang berbondong-bondong untuk mengikuti kuliahnya. Begitu banyak mahasiswa yang datang, membuat al-Razi harus duduk jauh di depan.Hal ini membuat para mahasiswa yang duduk dibelakang tidak bisa mendengar ceramahnya. Karena itu, mahasiswa yang duduk di dekat al-Razi terpaksa menyampaikan kata-katanya ke belakang secara berantai.

Al-Razi banyak menemukan hal-hal yang dianggap baru dalam dunia kedokteran. Ia dianggap sebagai penemu air raksa yang banyak digunakan dalam dunia kedokteran. Di samping itu, al-Razi adalah orang pertama yang meneliti penyakit cacar, serta menulis buku mengenai penyakti anak-anak. Karena jasanya itu, ia dianggap sebagai sarjana penemu penyakit cacar.

Al-Razi merupakan sarjana kedokteran yang menganggap penting pengobatan kepala pening. Ia pernah meneliti penyakit darah tinggi, mengajukan pengobatan kai, yaitu pengobatan dengan cara penusukan noktah-noktah tertentu pada tubuh dengan besi pipih runcing yang telah dipanaskan dengan minyak mawar atau cendana. Pengobatan sepeti ini mirip dengan akupuntur sekarang. Ia pun mengenalkan penggunaan kayu pengapit dan penyangga pada patah tulang, mengenalkan penggunaan usus binatang sebagai benang penjahit luka untuk operasi bedah, dan orang pertama yang menjelaskan reaksi pupil mata terhadap cahaya.

Jika diminta mencari lokasi baru untuk membanguns sebuah rumah sakit, al-Razi akan menggantungkan daging mentah di beberapa tempat dan membiarkannya beberapa lama. Tempat yang layak untuk rumah sakit adalah tempat yang menunjukkan gejala pembusukan daging paling sedikit. Menurut al-Razi, tempat itulah yang dianggap lebih sehat dibanding tempat lainnya.

Posted by
Arifin Avicena

More

Al Razi

Nama lengkap al Razi adalah Abu Bakar Muhammad bin Zakaria al–Razi. Ia lahir pada tahun 865 Masehi di Ray, Iran. Di Barat, al–Razi dikenal dengan nama Razhes.

Sebagaimana para ilmuwan Muslim lainnya, sejak usia remaja, al–Razi berangkat ke kota Baghdad untuk belajar. Ia belajar kepada seorang ilmuwan ahli pengobatan, bernama Humayun bin Ishaq.Selain itu, ia pun belajar matematika, filsafat, astronomi, dan ilmu kima.


Setelah bertahun – tahun belajar kepada Humayun bin Ishaq, al-Razi mengunjungi Muqtadari, sebuah rumah sakit yang terkenal pada saat itu. Ia ingin mempraktekkan dasar - dasar ilmu pengobatan kepada para pasien. Usahanya ternyata tidak sia – sia. Al-Razi berhasil mengobati banyak pasien. Sejak itu, al-Razi dikenal sebagai dokter muda dan seorang ahli kimia. Ia pun diangkat menjadi direktur dua rumah sakit terbesar pada saat itu yang terletak di Ray dan Baghdad. Prestasi yanng diraih al-Razi tidak jauh berbeda dengan Ibnu Sina, mereka menjadi dokter pada usia muda dan sangat terkenal.

Di samping kesibukannya memperdalam ilmu kedokteran, al-Razi sangat tertarik pada musik, baik praktek maupun teorinya. Selain pandai memainkan alat musik seperti kecapi, ia juga pandai menyanyi. Kesenangannya pada seni musik mendorongnya untuk meulis sebuah buku berjudul Fi Jamal al-Musiqi ( keindahan seni musik ). Namun, pada tahun-tahun berikutnya ia tidak tertarik lagi pada musik.


Al-Razi tidak suka dengan kemalasan. Karena itu, hari-harinya selalu diisi dengan berkarya untuk kesejahteraan umat manusia. Berbagai macam ilmu pengetahuan yang dikuasainya terutama ilmu kedokteran, ia tuangkan ke dalam tulisan. Buku-buku karyanya mulai tersebar dan dipelajari kaum muslim. Sampai akhir hidupnya, al-Razi menulis buku yang jumlahnya tidak kurang dai 200 judul.

Salah satu buku al-Razi yang sangat terkenal di kalangan para ilmuwan saat itu adalah al-Hawi. Buku ini terdiri dari 20 jilid, dan diselesaikan al-Razi selama lima belas tahun. Al-Hawi dianggap sebagai buku induk ilmu kedokteran. Isinya menrupakan rangkuman ilmu kedokteran Yunani, Syiria, dan Arab, yang semuanya telah dibaca dan dipraktekkan al-Razi. Dalam al-Hawi, al-Razi menjelaskan semua pengetahuan yang harus dikuasai oleh seorang dokter, misalnya tentang gejala penyakit, pengobatab, perawatan, dan pencegahan.

Orang-orang Eropa mempunyai perhatian besar terhadap al-Hawi ini. Pada tahun 1279, Charles I , Raja Sisilia memerintahkan seorang tabib Yahudi bernama Faraj bin Sali untuk menerjemahkan al-Hawi ke dalam bahasa latin. Pada masa itu, bahasa Latin adalah bahasa resmi ilmu pengetahuan di Eropa.

Melalui al-Hawi inilah kebesaran dan kegungan dokter Muslim al-Razi dikenal orang-orang Eropa. Al-Razi adalah dokter Muslim kedua setelah Ibnu Sina. Buku tejemahan al-Hawi yang dinamai Continens, dicetak berulang ulang sejak 1486.

Karya al-Razi lainnya yang juga terkenal adalah al-Judari wa al-Hasbah. Buku ini telah diterjemahkan dan dicetak ulang sebanyak 40 kali pada tahun 1498 sampai 1866.

Buku inilah yang memberu pengetahuan kepada para dokter Eropa tentang penyakit cacar dan campak. Dalam bukunya ini, al-Razi mengungkapkan gejala-gejala penyakit cacar. Diantaranya dimulai dengan demam yang terus-menerus, nyeri di punggung, gatal-gatal dalam hidung, menggigil ketika tidurm perasaan pedih di sekujur tubuh, kulit wajah kadang-kadang melepuh, kemerah-merahan pada pipi dab kedua mata, perasaan tertekan, bulu-bulu bergerimang, sakit tenggorokan disertai sesak napas dan batuk-batuk, kering di mulut, ludah mengental, suara serak, pusing kepala, kaget-kaget, cemas, gelisah, mual. Pengetahuan ilmu kedokteran modern pun hampir tidak bisa menambah banyak hal lagi pada gejala-gejala yang sudah diungkapkan al-Razi.


Pada tahun 925 M, al-Razi meninggal dunia di daerah kelahirannya sendiri. Ia meninggalkan karya-karya besar dalam ilmu kedokteran yang bermanfaat bagi umat manusia di seluruh dunia.

Posted by
Arifin Avicena

More

Followers

Search This Blog

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © / laHistoria

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger